Cinta Tulus yang
Merasuk ke dalam Jiwa


Tsauban, namanya; seorang pemuda yang tertawan dan menjadi budak akibat kekalahan yang dialami kaumnya di suatu peperangan. Ia dibeli oleh Rasulullah s.a.w. yang kemudian memerdekakannya. Tetapi kemerdekaan yang telah dimilikinya kembali tidak pernah membuatnya pergi meninggalkan sosok yang memerdekakannya. Ia bahkan makin bertambah cinta kepada Rasulullah yang menjadi sebab keislaman dan kemerdekaannya itu. Ia bahkan telah berikrar untuk mengabdikan diri kepada Rasulullah s.a.w. selama hidupnya.

Tsauban sangat sentimentil dalam cintanya kepada Rasulullah, sehingga ia tidak sanggup berpisah lama dengan beliau. Namun tidak selamanya pencinta dan sang kekasih dapat bersama-sama; perpisahan dengan orang yang dicintai kadang-kadang harus terjadi, walau hanya untuk beberapa saat. Itulah derita yang dialami oleh Tsauban dari waktu ke waktu.

Pada suatu hari Tsauban kembali muncul di hadapan Rasulullah s.a.w. Namun dalam keadaan yang sangat memprihatinkan. Wajahnya pucat pasi, tubuhnya makin mengurus, dan kesedihan tampak jelas mewarnai seluruh raut wajahnya.
“Gerangan apakah yang membuatmu kelihatan begitu sengsara, Tsauban?” tanya Rasulullah kepadanya.

“Sebenarnya badannya sehat-sehat saja, tidak ada suatu penyakit pun yang kurasakan. Namun, wahai Rasul Allah, apabila aku tidak menyaksikan wajah Anda untuk beberapa saat, niscaya aku dirundung kerinduan dan langsung merasa kesepian dan kemeranaan yang luar luar biasa, sampai aku kembali berjumpa dengan Anda. Aku sangat mencintai Anda; cinta yang lebih besar dan lebih luhur daripada cintaku kepada anak, istri dan diriku sendiri, sehingga aku tidak akan mampu berpisah lama dari Anda. Bayangan wajah Anda terus saja di pelupuk mataku, walaupun aku sedang bercengkrama dengan anggota keluargaku. Ingatanku kepada Anda terlalu merasuk di hati, tidak tertahankan olehku, sampai aku kembali menyaksikan kesejukan wajah Anda. Terlintas keyakinan di benakku, bila perjumpaan tertunda lebih lama lagi, niscaya nyawaku akan segera tercabut bersama memuncaknya rinduku.”

Tsauban tidak mampu melanjutkan pembicaraan yang kelihatannya belum selesai. Air matanya tak tertahan lagi, jatuh berderai bersama isak tangisnya yang mulai menggema.

“Kenapa pula kamu menangis sekarang, bukankah kita telah bersama lagi?” kata Rasulullah membujuknya.

“Terbayang olehku sekarang ini, tentang kematianku dan kematian Anda. Kerinduan dan kemeranaanku di dunia ini memang dapat kuatasi dengan datang menemui Anda. Aku sangat khawatir bahwa penyelesaian yang sama terhadap masalahku ini tak akan terjadi di kehidupan akhirat. Kusadari benar, bahwa kedudukan Anda di surga nanti, akan ditinggikan Allah sedemikian rupa, sehingga tidak ada yang dapat menemui dan menemani Anda kecuali para nabi saja. Kecilnya kemungkinanku untuk dapat bersama Anda di akhirat nanti telah membuat hidupku amat sengsara sekarang ini.”

Dengan penuh empati Rasulullah s.a.w. menyimak rintihan jiwa dari seorang sahabat yang sangat mencintainya. Namun tak sepatah kata pun yang dapat beliau ucapkan. Tersirat di dalamnya sesuatu, yang beliau sendiri tidak berwenang untuk berkomentar. Rasulullah s.a.w. hanya mampu menunjukkan betapa beliau sangat menghormati cinta yang luhur, dan merasakan kesedihan yang sama seperti yang dialami sahabatnya itu.

Untungnya, keresahan itu tidak dibiarkan oleh Allah berlarut-larut di hati para pecinta sejati. Dia segera mengakhirinya dengan kedamaian yang menyejukkan dengan menurunkan firman-Nya yang merupakan jawaban atas keresahan para pencinta Rasulullah:

Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka dia akan selalu bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, shiddiqin, syuhada`, dan orang-orang salih; mereka itulah sebaik-baiknya teman. Yang demikian itu adalah karunia Allah, dan cukuplah Allah Maha Mengetahui. (QS An-Nisa’ [4]:69-70)

Apa yang dirasakan oleh Tsauban terhadap pribadi Rasulullah s.a.w. ini juga dialami oleh banyak sahabat dan umat beliau di sepanjang zaman. Oleh karena itu, berita gembira tentang anugerah Allah seperti yang tersebut di dalam ayat di atas berlaku untuk semua kaum Muslimin, tanpa kecuali.
Diriwayatkan bahwa di saat Rasulullah s.a.w. menghembuskan nafasnya yang terakhir, Tsauban sedang berada bersama seseorang —yang juga sangat cinta kepada Rasulullah— di sebuah kebun. Ketika berita duka itu sampai ke telinga Tsauban, ia tidak mampu membendung rasa dukanya. Sedemikian berat kesedihannya sehingga dengan penuh keseriusan ia menyampaikan harapan dalam doanya kepada Allah SWT:

“Aduhai Tuhan Pemilik semua Sifat Maha Sempurna, butakanlah mataku ini agar aku tidak menyaksikan apa pun setelah kepergian Nabiku, hingga saat aku berjumpa dengan-Mu.”

Karena ketulusanya, Allah SWT mengabulkan doa itu; mata Tsauban langsung menjadi buta, sebelum ia beranjak dari tempatnya.

Oleh: Muhammad Riyadi. M.HN

MUHAMMAD (S.A.W.) NABI CINTA

Dan oleh kasih Tuhanmu kamu pun (Muhammad) bersikap lemah-lembut kepada mereka
(QS 3:159)

Demikian Tuhan sendiri menggambarkan sifat-utama pesuruhnya. Bukan hanya itu, di dalam kitab-suci-Nya Dia kabarkan:


Telah datang padamu seorang Pesuruh dari
(kalangan) dirimu sendiri. Dia merasa berat atas apa-apa yang menimpamu, sangat menginginkan (kesejahteraan)-mu, dan kepada orang-orang beriman dia amatlah penyantun dan penyayang. (QS 9:128)

Kiranya, semua sifat penuh kasih dan kelembutan itu adalah suatu kenyataan logis mengingat Tuannya Muhammad s.a.w. itu telah berfirman bahwa, ia (Muhammad) tak disuruh kecuali untuk menebarkan kasih bagi alam dan segenap penghuninya (QS 21:107). Ia adalah utusan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, ia adalah suruhan Penopang dan Pemelihara alam keseluruhan.Suatu kali sahabatnya mendengar ia berkata: ”Orang-orang yang saling mencinta karena mengakui Kebesaran-Nya, hidupnya akan penuh cahaya, sehingga bahkan para nabi dan syuhada iri kepadanya.” Memang, ”tak akan masuk surga … kecuali kalian saling mencinta,” begitu dinasihatkannya.

Biografinya penuh dengan kisah-kisah fantastis yang mendemonstrasikan sifat penuh cinta-kasih seperti itu. Juga kepada anak-anak. Dia dikenal tak tahan mendengar tangis anak-anak; sebaliknya, orang melihatnya senang menggendong dan memboncengkan mereka di atas untanya. Dia senang menciumi anak-anak sehingga, ketika seorang badui mengecamnya karena mempertunjukkan sikap yang katanya kurang ”laki-laki”, dengan agak kesal dia menukas: ”Siapa yang tidak mengasihi tak akan dikasihi.”Keprihatinannya terhadap nasib para janda juga sudah merupakan bahan standar dalam uraian-biografisnya. Dia jadikan upaya mengurusi kaum yang lemah ini sebagai insentif untuk meraih surga, sebagaimana menyantuni anak yatim adalah bukti integritas keagamaan seseorang. Yang tak pernah dia lupakan, kapan saja ia bertemu anak-anak tanpa ibu-bapa ini, adalah mengusap-usap kepala mereka. Katanya: ”Orang yang menyantuni anak yatim akan bersamaku di surga, seperti jari telunjuk dan jari tengah.”


Berkiprah di tengah-tengah kaum dhu’afa, belajar dari Nabi ini, adalah tak kurang daripada perjalanan spiritual untuk menemui-Nya. Katanya: ”Temui (Dia) di tengah-tengah mereka.”
Meski perbudakan adalah sesuatu yang lazim di masanya, perlakuan Muhammad s.a.w. kepada mereka tak beda dengan terhadap manusia merdeka. Seorang budak perempuan yang bersedih karena menghilangkan uang belanja majikannya membuatnya mau menunda aktivitasnya. Digantinya uang yang hilang, diantarnya si budak ke pasar untuk membeli barang suruhan majikannya, dan ditemaninya pulang ke rumah demi menghindarkan kemarahan sang tuan akibat keterlambatan yang lama. Begitu baiknya ia kepada budaknya sendiri, Zaid ibn Haritsah, sehingga sang budak tetap memilih tinggal bersamanya bahkan ketika ia hendak diserahkan kembali kepada orangtuanya sebagai manusia merdeka. Kata sang budak, sepanjang hidupnya Muhammad tak pernah menunjukkan kekesalan kepadanya.

Rasa pemaafnya nyaris tanpa batas. Dia menjenguk musuh yang terus menghina dan menyiraminya dengan kotoran ketika si musuh didapatinya terbaring sakit. Dia menyuapi Yahudi tunanetra yang setiap hari mencacinya. Dan dia memberikan amnesti tanpa syarat kepada kaum penindas Makkah yang telah berupaya menyengsarakan hidupnya, justru ketika dia bisa melakukan apa saja setelah menaklukkan mereka. Ketika Jibril bertanya, apakah Nabi mau agar ia (Jibril) jatuhkan gunung kepada orang-orang yang menganiayanya di Tha’if, dia malah memintakan ampun atas merka. ”Karena mereka tidak mengerti,” katanya.

Tak hanya ketika di dunia saja Muhammad mempersembahkan hidupnya untuk manusia. Di ranjang-kematiannya, kata-kata yang terus terucap adalah: ”Umatkuumatku ….” Bahkan, dikabarkan bahwa, kelak di padang mahsyar sana, ketika semua orang bukan alang-kepalang kebingungan dan ketakutan, ketika ibu-ibu pun melupakan anak-anaknya karena dahsyat dan mencekamnya suasana, yang dia lakukan adalah memanggil semua orang – termasuk para pendosa: ”Halumma … halumma … (Kemarilahkemarilah …). Biar aku berikan syafa’atku kepadamu, agar Tuhan mengampuni dosa-dosamu.”

Begitu kasihnya Muhammad pada manusia sehingga dia katakan bahwa Tuhannya ada bersama orang-orang lemah, orang-orang yang hancur hatinya, orang-orang lapar, orang-orang yang terasing dan kesepian, dan orang-orang sakit. Bahkan, tak ada Islam yang lebih utama ketimbang menyantuni mereka.

”Apakah Islam yang paling baik itu?” ia ditanya.

Islam yang paling baik adalah memberi makan orang yang lapar dan menebarkan kedamaian di tengah orang-orang yang kau kenal maupun yang asing,” jawabnya.
Suatu kali ia pun mengajar kita: ”Barangsiapa menyayangi apa-apa yang ada di bumi, dia akan disayangi Yang di Langit.”

Kedermawanan-hatinya tak mengecualikan manusia, bahkan makhluk lain yang bukan manusia. Sudah terkenal perintahnya agar manusia tak merusak tetumbuhan, meskipun dalam kecamuk perang. Pernah dia kabarkan pula ihwal seorang pelacur yang diampuni dosa-dosa-kejinya hanya karena memberi minum seekor anjing yang kehausan. Hingga sabdanya: ”Dalam setiap (makhluk) yang di dalamnya melata kehidupan, ada ganjaran.”Kepada orang kafir pun tak kurang-kurang ia luapkan kedermawanan hatinya. Setidaknya ini kisah Jalaluddin Rumi dalam Matsnawi-nya :

Seorang kafir mengunjungi Nabi, dan Nabi pun menjamunya. Sebagaimana kebiasaan orang-orang yang hanya percaya dunia, dia makan dengan ”tujuh perut”-nya. Tapi bukan itu saja. Setelah mengenyangkan dirinya, dia berbaring di ruang tamu, dan mengotori kain linen, milik Nabi, tempatnya berbaring. Malah akhirnya dia menyelinap keluar rumah begitu saja sebelum fajar menjelang. Ketika ia terpaksa kembali untuk mengambil barangnya yang tak sengaja tertinggal di rumah Nabi, didapatinya manusia mulia ini sedang mencuci kain linen itu dengan tangannya sendiri, tanpa sedikit pun menunjukkan kekesalan kepada si kafir.

Memang, tak ada yang bisa ragu, Muhammad s.a.w. menjadikan jalan terpendek untuk bertemu Tuhan kita, tidak pada sekadar ibadah ritual belaka, bahkan tidak pada latihan-latihan mistik individual saja, melainkan pada besarnya cinta kita. Cinta kepada Tuhan Sang Maha Cinta, dan cinta pada sesama manusia.

Inilah spiritualitas yang sesungguhnya. Inilah tasawuf, sejatinya.

Doa dan keselamatan atasmu, wahai al-Musthafa!


Oleh: Haidar Bagir
(Dikutip dari Majalah Madina, no.3, 2008)